Jumat, 16 Januari 2009

TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA

abstraks:

penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum dari pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan, dalam hal ini di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta serta mengetahui bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti.
Penelitian hukum ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum sosiologis. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer dan data sekunder.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pencabutan keterangan terdakwa dalam putusan perkara perkosaan Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta Nomor: 306/Pid.B/2003/PN.Ska ditolak atau tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim karena pencabutan keterangan yang dilakukan oleh terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dinilai tidak berdasar dan tidak logis. Alasan yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh hakim. Implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti, adalah apabila pencabutan diterima oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti dan keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikan tidak digunakan sama sekali untuk menemukan bukti di persidangan karena isinya yang dinilai tidak benar. Sedangkan apabila pencabutan ditolak oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, justru keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikanlah (BAP) yang kemudian dapat digunakan dalam pembuktian.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah bahwa secara yuridis pencabutan keterangan terdakwa dibolehkan asalkan pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan pencabutan itu mempunyai alasan yang berdasar dan logis. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah bahwa dengan adanya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, dapat digunakan hakim sebagai petunjuk dalam membuktikan kesalahan terdakwa di sidang pengadilan.

A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Neara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.
Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma (Satjipto Rahardjo, 1982: 14). Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut.
Bila pada uraian di atas dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi oleh suatu negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, maka hukum juga wajib memberikan timbal balik terhadap negara yang menerimanya sebagai ideologi, dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka memberikan perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat serta memberikan pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, hukum tidak selalu bisa memberikan keputusannya dengan segera, hukum membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang yang bisa memakan waktu lama sekali, guna mencapai keputusan yang seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap penyimpangan-penyimpangan hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sehingga ideologi Indonesia sebagai negara hukum benar-benar terwujud.
Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah: “untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan (Darwan Prinst,1998: 132). Dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian.
Dalam pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan korban, terdakwa dan masyarakat. Kepentingan korban berarti bahwa seseorang yang mendapat derita karena suatu perbuatan jahat orang lain berhak mendapatkan keadilan dan kepedulian dari negara, kepentingan masyarakat berarti bahwa demi ketentraman masyarakat maka bagi setiap pelaku tindak pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tiap individu yang terbukti bersalah harus dihukum.
Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.
Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana. Hal ini dapat dibuktikan sejak awal dimulainya tindakan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim bahkan sampai upaya hukum, masalah pembuktian merupakan pokok bahasan dan tinjauan semua pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, terutama bagi hakim. Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta dapat meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijskracht dari setiap alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penafsiran atau pengertian mengenai pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya memuat macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana di Indonesia.
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2003: 273).
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian. Namun perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh pasal 184 KUHAP tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Dengan kata lain, walaupun pembuktian dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian, namun hakim tetap harus hati-hati, dan cermat dalam menilai alat-alat bukti lainnya. Karena pada prinsipnya semua alat bukti penting dan berguna dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Penulis dalam penulisan hukum ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk karena keempat alat bukti tersebut secara umum sudah lebih dikenal oleh pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dan tidak banyak menimbulkan permasalahan dalam penerapannya dalam persidangan. Lain halnya dengan alat bukti keterangan terdakwa yang kadang kala masih sering menimbulkan permasalahan, baik mengenai eksistensinya sebagai alat bukti yang sah, masalah kekuatan nilai pembuktian dan penerapannya di persidangan, maupun kedudukannya sebagai alat bukti terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Bila melihat urutan jenis alat bukti pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang terakhir setelah petunjuk. Akan tetapi karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa, sehingga petunjuklah yang seharusnya menduduki posisi terakhir sebagai alat bukti. Terlepas dari permasalahan di atas, pada kenyataannya keterangan terdakwa masih belum memiliki peraturan yang jelas dalam penerapannya, yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai kekuatannya sebagai alat bukti yang sah, sehingga akan berpengaruh juga terhadap putusan pengadilan.
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Mengingat bahwa keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi.
Dalam persidangan sering dijumpai bahwa terdakwa mencabut keterangan yang diberikannya di luar persidangan atau keterangan yang diberikannya kepada penyidik dalam pemeriksaan penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Dimana keterangan tersebut pada umumnya berisi pengakuan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo (1984: 137), terhadap keterangan di muka penyidik dan keterangan dalam persidangan harus dibedakan, keterangan yang diberikan di muka penyidik disebut keterangan tersangka, sedangkan keterangan yang diberikan dalam persidangan disebut keterangan terdakwa. Dengan adanya perbedaan ini, penulis menilai akan memperjelas dari kedudukan masing-masing keterangan dalam pembuktian.
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa dalam persidangan terdakwa kerap mencabut kembali keterangan pengakuan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan di sidang pengadilan. Suatu hal yang ironi memang bila melihat bahwa setiap tersangka pasti memberikan keterangan pengakuan di depan penyidik sedemikian rupa jelasnya mengutarakan dan menggambarkan jalannya perbuatan tindak pidana yang disangkakan. Akan tetapi bagaimanapun gamblangnya pengakuan yang tercatat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP), akan selalu dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan. Hampir seluruh terdakwa, mencabut kembali keterangan pengakuan yang tercatat dalam BAP, hanya satu dua yang tetap bersedia mengakui kebenarannya.
Adapun alasan yang kerap dijadikan dasar pencabutan adalah bahwa pada saat memberikan keterangan di hadapan penyidik, terdakwa dipaksa atau diancam dengan kekerasan baik fisik maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Sedemikian rupa penyiksaan dan ancaman berupa pemukulan, penyulutan bagian badan atau bagian vital tubuh. Kepala dibenturkan di dinding, dan segala macam penganiayaan yang keji, membuat tersangka terpaksa mengakui segala pertanyaan yang didiktekan pejabat pemeriksa. Begitulah selalu alasan yang yang melandasi setiap pencabutan keterangan pengakuan yang dijumpai di sidang pengadilan.
Ditinjau dari segi yuridis, pencabutan ini sebenarnya dibolehkan dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai alasan yang mendasar dan logis (M. Yahya Harahap, 2003: 326). Sepintas terkesan bahwa syarat pencabutan tersebut mudah dipahami dan mudah untuk dilakukan sehingga diperkirakan penerapannya pun akan lancar tanpa permasalahan. Akan tetapi, pada kenyataannya tidaklah demikian karena ternyata dalam praktek di persidangan pencabutan begitu banyak menimbulkan permasalahan. Terutama mengenai penilaian hakim terhadap alasan pencabutan keterangan terdakwa, dimana dalam praktek di persidangan hakim tidaklah mudah menerima alasan pencabutan keterangan terdakwa.
Permasalahan lain terkait dengan pencabutan keterangan terdakwa adalah mengenai eksistensi keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dalam hal digunakan untuk membantu menemukan alat bukti dalam persidangan sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP (Darwan Prinst, 1998: 145). Sebab sesuatu hal yang fungsi dan nilainya digunakan untuk membantu mempertegas alat bukti yang sah, maka kedudukannya pun telah berubah menjadi alat bukti, termasuk pengakuan terdakwa pada tingkat penyidikan (M. Yahya Harahap, 2003: 323).
Masalah pencabutan keterangan terdakwa ini juga akan membawa permasalahan lain, yaitu persoalan berkaitan dengan implikasi pencabutan tersebut terhadap kekuatan alat bukti, serta pengaruhnya terhadap alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan hal inilah, maka penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan hukum yang mempunyai judul:
"TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI” (Studi Di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta).
B. Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka diperlukan suatu pembatasan masalah. Dan untuk memudahkan dalam penyusunan dan pencarian data guna menghasilkan sebuah penelitian yang baik dan menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan dalam penulisan, maka perlu disusun perumusan masalah secara teratur dan sistematis yang merupakan pembatasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam persidangan?
2. Bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti?
C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara jelas. Tujuan penelitian dapat bersifat untuk pengembangan ilmu dalam arti explanation, developmental, atau verifikasi ilmu, atau untuk membantu memecahkan masalah tertentu. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Mendeskripsikan apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam persidangan.
b. Mendeskripsikan bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti.
2. Tujuan Subjektif
a. Meningkatkan kualitas pengetahuan penulis tentang penggunaan alat-alat bukti dalam pembuktian kesalahan terdakwa di pengadilan.
b. Memperoleh data yang cukup dan relevan yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai syarat mencapai gelar sarjana di bidang ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pembuktian pidana serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan.
b. Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.
c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1984). Pentingnya dilaksanakan penelitian hukum adalah untuk mengembangkan disiplin ilmu dan ilmu hukum sebagai salah satu tridarma perguruan tinggi. Penelitian hukum itu bertujuan untuk membina kemampuan dan keterampilan para mahasiswa dan para sarjana hukum dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang objektif, metodik, dan sistematik (Hilman Hadikusuma, 1995: 8).
Sebuah tulisan baru dapat dirasakan bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena didukung oleh informasi yang teruji kebenarannya (Slamet Suseno, 1986: 2). Untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian yang dilaksanakan, maka perlu dikumpulkan fakta dan data yang menyangkut masalahnya dengan menggunakan metode dan teknik penelitian. Tanpa adanya metode dan teknik penelitian, maka hasil penelitian itu diragukan kebenarannya.
Metode penelitian dapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur (Soerjono Soekanto, 1986: 5).
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris (sosiolegal research). Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986: 52).
Di dalam penelitian hukum ini, penulis melakukan penelitian dengan mencari perkara-perkara pidana yang berkenaan dengan adanya pencabutan alat bukti keterangan terdakwa dalam persidangan Pengadilan (dalam hal ini di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta), kemudian melakukan analisis terhadap hasil penelitian tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta literatur-literatur.
Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang pencabutan alat bukti keterangan terdakwa dalam persidangan Pengadilan (dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta). Selain itu, bersifat kualitatif karena memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku (Burhan Ashshofa, 2001: 20-210). Sehingga dapat diperoleh data kualitatif yang merupakan sumber dari deskripsi yang luas, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan demikian alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditetapkan dengan tujuan agar ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti lebih sempit dan terfokus, sehingga penelitian yang dilakukan lebih terarah.
Penelitian hukum ini mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta yang beralamat di Jalan Brigadir Jenderal Slamet Riyadi Nomor 290 Surakarta.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diambil langsung dari narasumber yang ada di lapangan dengan tujuan agar penelitian ini bisa mendapatkan hasil yang sebenarnya dari objek yang diteliti. Dalam hal ini data diperoleh dari Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang menunjang dan mendukung data primer, data ini diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan studi dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.
4. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian hukum (skripsi) ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu data atau keterangan yang diperoleh langsung dari semua pihak yang terkait langsung dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian.
Dalam hal ini yang menjadi narasumber adalah Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta yang pernah menangani perkara pidana yang berkenaan dengan adanya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penulisan hukum (skripsi) ini diperoleh dari:
1) Bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan (reglement).
2) Bahan hukum sekunder yang meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu (Burhan Ashshofa, 2001: 95), dalam hal ini wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh keterangan-keterangan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan adanya pencabutan keterangan terdakwa di persidangan. Dalam suatu wawancara terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan yang berbeda, yaitu pencari informasi yang biasa disebut dengan pewancara atau interviewer, dalam hal ini adalah penulis. Dalam pihak lain adalah informan atau responden, dalam hal ini adalah hakim-hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta.
Teknik pelaksanaan wawancara adalah dengan wawancara tidak berencana (tidak berpatokan), yakni penulis dalam mengajukan pertanyaan tidak terikat pada aturan-aturan yang ketat. Alat yang digunakan adalah pedoman wawancara yang memuat pokok-pokok yang ditanyakan.
b. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan meliputi pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka atau materi yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah teknik analisis data kualitatif yaitu cara penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilaku nyata yang akan diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 1986: 250).
Dalam penelitan kualitatif sumber data bisa berupa orang, peristiwa, lokasi, benda, dokumen, atau arsip. Beragam sumber tersebut menuntut cara tertentu yang sesuai guna mendapatkan data. Pada penelitian kualitatif proses analisisnya dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data (H.B. Sutopo, 2002: 86). Secara umum terdapat dua model pokok dalam melakukan analisis di dalam penelitian kualitatif, yaitu: (1) model analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis), dan (2) model analisis interaktif (H.B. Sutopo, 2002: 94).
Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode analisis interaktif. Metode analisis interaktif adalah tiga komponen analisis tersebut aktifitasnya dapat dilakukan dengan cara interaktif, baik antar komponennya maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis dengan proses pengumpulan selama kegiatan berlangsung. Sesudah pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak diantara komponen analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya (H.B. Sutopo, 2002, 95).
Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif (H.B. Sutopo, 2002: 96).
Analisis dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu:
a. Reduksi Data
Sebagai alur penting pertama, yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa, sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 16).
Reduksi data merupakan komponen utama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari field note (H.B. Sutopo, 2002, 91).
b. Penyajian Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 17).
Dengan melihat penyajian-penyajian akan dapat dipahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan lebih jauh menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian tersebut.
Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data yang merupakan rakitan kalimat yang disusun logis dan sistematis, sehingga bila dibaca akan mudah dipahami berbagai hal yang terjadi dan harus mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan dalam penelitian.
c. Penarikan kesimpulan
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dari yang semula kesimpulan yang belum jelas kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 18-19).
Dalam penulisan hukum ini, pada tahap pertama penulis melakukan pengumpulan data-data tentang perkara-perkara pidana yang ditangani Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta. Data-data yang diperoleh tersebut direduksi diambil perkara-perkara pidana yang ada kaitannya dengan pencabutan keterangan terdakwa. Kemudian ditarik kesimpulan awal yang merupakan jawaban sementara dari perumusan masalah.
Data-data yang telah direduksi kemudian disajikan dengan kalimat-kalimat yang mudah dipahami, sehingga data-data tersebut akan lebih mudah dianalisis atau dikaji untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun dan membatasi permasalahan agar diperoleh jawaban yang lebih terperinci dan sistematis. Kemudian dari data-data tersebut ditarik kesimpulan, dari yang semula hanya jawaban sementara kemudian ditingkatkan menjadi kesimpulan akhir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam perumusan masalah yang dirumuskan di dalam penulisan hukum. Penulis kembali melakukan pengumpulan data, untuk melengkapi kekurangan data dan memperkuat kesimpulan-kesimpulan akhir yang dirumuskan.
F. Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi)
Dalam menyusun penulisan hukum ini, penulis berpedoman pada suatu sistematika yang baku. Sistematika memberikan gambaran dan mengemukakan garis besar penulisan hukum agar memudahkan dalam mempelajari isinya. Penulisan hukum terbagi menjadi empat bab yang saling berhubungan. Setiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab yang masing-masing merupakan pembahasan dari bab yang bersangkutan. Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian, manfaat penelitian merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode penelitian berupa jenis penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yaitu: tinjauan umum tentang pembuktian dan tinjauan umum tentang alat bukti keterangan terdakwa.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan mengenai pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, dalam hal ini adalah persidangan di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta, serta melihat implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti.
BAB IV : PENUKA
LAMPIRANTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar