Jumat, 16 Januari 2009

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PROSES PEMBUKTIANNYA ( Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas IB Metro)

abstraks:

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DAN PROSES PEMBUKTIANNYA
(Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas I B Metro)
Aris Wahid Hasyim

ABSTRAK

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Proses Pembuktiannya (Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas I B Metro) (di bawah bimbingan Bapak Heni Siswanto, S.H., M.H. dan Bapak Bennadi, S.H.. 60 halaman dan lampiran-lampiran). Penetapan judul ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa adanya perbedaan antara proses pembuktian dalam perkara tindak korupsi dengan tindak pidana lainnya.

Dari pokok masalah yang seharusnya dibahas, maka membatasi ruang lingkup pembahasan dan penelitiannya pada optimalisasi pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Metro.

Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Masalah dalam penelitian ini tentang tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya serta faktor penghambat pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dari keseluruhan data yang sudah terkumpul kemudian diperiksa kembali dengan tujuan untuk mengetahui kelengkapan dan kejelasannnya. Apabila data-data yang diperlukan sudah lengkap dan jelas, kemudian dilakukan pengolahan data dengan cara menyusun data tersebut ke dalam bentuk kalimat secara sistematis, jelas dan rinci kemudian diklasifikasikan yang disesuaikan dengan pokok yang akan dibahas dalam rangka penyempurnaan data sehingga memudahkan analisa data.

Selanjutnya kegiatan terakhir yang akan dilakukan adalah menganalisa data, yaitu dengan cara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan data ke dalam bentuk kalimat secara sistematis berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan, sehingga memudahkan untuk menarik kesimpulan dalam menjawab permasalahan dalam penulisan ini.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.

Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian.

Korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata laksana pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang¬-undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kali (Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960, Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 , Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) , akan tetapi peraturan perundang-undangan dimaksud belum memadai, antara lain karena belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi.

Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi yang diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003.

Bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan telah menandatangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)

Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsipprinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pembuktian yang menyimpang dari ketentuan pembuktian perkara pidana biasa. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah :
1. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
2. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap (Pasal 29 ayat (1) jo. ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
3. Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran (Pasal 29 ayat (4) jo. ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
4. Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
5. Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa (Pasal 35 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
6. Kewajiban memberi kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
7. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
8. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
9. Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan (Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
10. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
11. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).

Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.

Menurut Bambang Purnomo :

Adanya pembuktian khusus yang berlainan dengan perkara pidana biasa berhubung sangat sulitnya pembuktian perkara korupsi, dimana pembuat delik korupsi mempunyai kecakapan atau pengalaman dalam suatu pekerjaan tertentu yang memberikan kesempatan korupsi (Bambang Purnomo, 1984 : 67).

Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak seorang terdakwa berdasarkan azas praduga tak bersalah terasa agak dikurangi. Alasan yang dipergunakan oleh pembentuk Undang-Undang adalah karena sulitnya pembuktian perkara korupsi dan bahaya yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi tersebut.

Salah satu ketentuan yang sangat menyimpang dari azas praduga tak bersalah adalah ketentuan mengenai pembagian beban pembuktian. Terdakwa diperkenankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa.

Menurut Bambang Purnomo :

Ketentuan seperti tesebut diatas memberikan gambaran watak hukum yang mengandung isi kontradiktif sekaligus menjamin dua macam kepentingan yang saling berhadapan, yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat membuktikan menurut Undang-Undang bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi di lain pihak Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Bambang Purnomo, 1984 : 73).

Adanya perbedaan antara proses pembuktian dalam perkara tindak korupsi dengan tindak pidana lainnya, menarik minat Penulis untuk meneliti tentang hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam karya ilmiah berjudul :

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PROSES PEMBUKTIANNYA ( Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas I B Metro )

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimanakah Pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya?
b. Apakah faktor penghambat pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi?

Agar penulisan skripsi ini tidak menyimpang dari pokok masalah yang seharusnya dibahas, maka membatasi ruang lingkup pembahasan dan penelitiannya pada optimalisasi pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Metro.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui proses pembuktian perkara korupsi pada sidang pengadilan.
b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pembuktian perkara korupsi di pengadilan.

2. Kegunaan Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum pidana.
b. Bagi aparat penegak hukum yaitu untuk mengetahui secara mendalam dan tuntas permasalahan-permasalahan yang diteliti, demi perbaikan-perbaikan dan pengembangan hukum dan agar supaya aparat penegak hukum dapat mengambil tindakan yang tegas dan tepat.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
a. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah suatu konsep yang merupakan abtraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986:125).
Pada Penulisan Penelitian ini ditinjau mengenai pengertian korupsi, juga diulas masalah pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya.
b. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual yang menggambarkan konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 1986:132)
Kerangka konseptual yang dikemukakan akan dibatasi pada konsepsi judul. Adapun Pengertian dari istilah tersebut adalah:
1. Tindak Pidana adalah Setiap perbuatan yang dapat dipidana yang diatur dalam ketentuan menurut Undang- undang ( Pasal 1KUHP )
2. Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. (Wikipedia Indonesia)
3. Pembuktian adalah bagian yang sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Pengertian pembuktian adalah “meyakinkan hakim tentang kebenaran suatudalil atau peristiwa yang dikemukakan di muka persidangan” (Sudikno Mertokusumo, 1985 : 110).

E. Sistimatika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan, maka penulisan sistimatikanya adalah :

I. Pendahuluan
Berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, sistematika penulisan.

II. Tinjauan Pustaka
Berisikan Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang pengertian tindak pidana, korupsi, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, serta proses pembuktiannya.

III. Metodologi Penelitian
Pada bab ini diuraikan tentang cara-cara melakukan penelitian yang meliputi pendekatan masalah, jenis dan sumber data, prosedur pengumpulan pengolahan data, analisis data.

IV. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Pada bab ini diuraikan tentang hasil penelitian di lapangan yang meliputi Gambaran Umum Pengadilan Negeri Metro, pemberantasan tindak pidana korupsi dan proses pembuktiannya, serta hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pembuktian perkara korupsi di pengadilan .

V. Kesimpulan Dan Saran
Merupakan Bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana adalah setiap perbuatan yang dapat dipidana yang diatur dalam ketentuan menurut Undang- undang ( Pasal 1KUHP ) . Tindak pidana atau strafbaar feit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu.

Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Sedangkan sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu.

Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.

Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.

B. Pengertian Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. (Wikipedia Indonesia).
Undang-undang no 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi , yang berlaku mulai tanggal 16 Agustus 1999 dan telah direvisi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menggantikan undang-undang no 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun tujuan yang diemban dalam pengundangan UU TP Korupsi ini adalah harapan untuk dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan masyarakat pada umumnya.
Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana korupsi adalah :
• setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
• Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun, sampai dengan saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengertian korupsi masih sangat kurang.
Menjadi lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang mudah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama ini dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Seperti gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Mengetahui bentuk/jenis perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi adalah upaya dini untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan korupsi.

C. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Proses Pembuktiannya
Di dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999, adalah:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sedangkan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya :
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai berikut: kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat, sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.
Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1.
Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana sesuai dengan Pasal 4 Yang berbunyi sebagai berikut : Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, melakukan perbuatan yang memenuhi unsur -unsur pasal dimaksud, di mana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.
Menurut Sudikno Mertokusumo :
Pembuktian adalah bagian yang sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Pengertian pembuktian adalah “meyakinkan hakim tentang kebenaran suatudalil atau peristiwa yang dikemukakan di muka persidangan” (Sudikno Mertokusumo, 1985 : 110).

Menurut Bambang Purnomo :

Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan untuk merekontruksikan suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan dalam perkara pidana (Bambang Purnomo, 1986 : 38).

Berkaitan dengan hal ini, keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi sangat tergantung dengan keberhasilan proses pembuktian tindak pidana korupsi tersebut di persidangan. Setelah terbukti bahwa benar terdapat tindak pidana korupsi barulah terdakwa dapat dikenai sanksi pidana. Mengingat betapa pentingnya pembuktian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.

Menurut Bambang Purnomo :
Perbuatan korupsi dapat saja mempunyai dua motif sekaligus, yakni korupsi yang sepintas lalu hanya mendapatkan uang tetapi sesungguhnya sudah dipersiapkan untuk kepentingan politik, demikian pula korupsi yang kelihatannya hanya merugikan di bidang perekonomian tetapi dapat juga misalnya dipergunakan untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum agar mengalami kegagalan melalui manipulasi suara (Bambang Purnomo, 1983 : 14).

Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pembuktian yang menyimpang dari ketentuan pembuktian perkara pidana biasa. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah :
1. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
2. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap (Pasal 29 ayat (1) jo. ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
3. Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran (Pasal 29 ayat (4) jo. ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
4. Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
5. Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa (Pasal 35 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
6. Kewajiban memberi kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya menyimpan rahasia, kecuali peugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
7. Terdakwa mempunyai hak membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
8. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukantindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut digunakan sebagai hal yang menguntungkanbaginya (Pasal36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
9. Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta isteri atau suami,anak,dan hartabenda setiap orang atau koorporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yangbersangkutan(Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Noor 31 Tahun 1999).
10. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
11. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

Menurut Bambang Purnomo :

Adanya pembuktian khusus yang berlainan dengan perkara pidana biasa berhubung sangat sulitnya pembuktian perkara korupsi, dimana pembuat delik korupsi mempunyai kecakapan atau pengalaman dalam suatu pekerjaan tertentu yang memberikan kesempatan korupsi (Bambang Purnomo, 1984 : 67).

Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak seorang terdakwa berdasarkan azas praduga tak bersalah terasa agak dikurangi. Alasan yang dipergunakan oleh pembentuk Undang-undang adalah karena sulitnya pembuktian perkara korupsi dan bahaya yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi tersebut.

Salah satu ketentuan yang sangat menyimpang dari azas praduga tak bersalah adalah ketentuan mengenai pembagian beban pembuktian. Terdakwa diperkenankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa.

Ketentuan seperti tesebut diatas memberikan gambaran watak hukum yang mengandung isi kontradiktif sekaligus menjamin dua macam kepentingan yang saling berhadapan, yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat membuktikan menurut Undang-undang bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dilain pihak Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Bambang Purnomo, 1984 : 73).

Dalam pembuktian pada perkara tindak pidana biasa terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk melakukan pembuktian, sehingga pembuktian mutlak diletakkan dalam tangan Penuntut Umum. Pengertian semacam ini berpokok pada azas dari hukum pidana yaitu azas praduga tak bersalah, dimana terdakwa belum dapat dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi antara lain:
a. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
b. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
c. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
d. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
e. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
f. Lemahnya ketertiban hukum.
g. Lemahnya profesi hukum.
h. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
i. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
j. Rakyat yang masa bodoh, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
k. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

. METODE PENELITIAN

Menurut Soejono Soekanto, istilah metode mengandung arti “jalan ke”, tetapi menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
a. Suatu tipe pemikiran yang digunakan dalam penelitian dan penilaian;
b. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;
c. Cara tertentu untuk melakukan prosedur (Soerjono Soekanto, 1984 : 5)
Menurut Koentjoroningrat (1993: 5), metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan metode adalah cara-cara tertentu yang digunakan untuk memecahkan dan menganalisa masalah sehingga mendapatkan kesimpulan.
Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian adalah:
“Merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara-cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu” (Soerjono Soekanto, 1984 : 42)

Dengan demikian yang dimaksud dengan metode penelitian adalah suatu cara tertentu atau langkah-langkah tertentu yang digunakan untuk memecahkan dan menganalisis suatu masalah dengan melakukan suatu kegiatan yang terencana berdasarkan suatu sistem untuk mendapatkan suatu kesimpulan.
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :

A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari pendekatan secara normatif dan enpiris.
a. Pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan jalan mempelajari, menelaah norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku dan berkaitan dengan masalah yang diteliti.
b. Pendekatan empiris, adalah pendekatan yang dilakukan dengan jalan melihat kenyataan langsung di lapangan yang menjadi objek dari penelitian.

B. Jenis dan Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari pihak pertama yang bersumber dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak kedua yang bersumber dari buku-buku literature dan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
a. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelilitan ini adalah sebagai berikut:
1) Studi Pustaka
Studi pustaka ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan jalan mempelajari, menelaah dan mengutip data dari berbagai buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai hubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini
2) Studi Lapangan
Studi lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data primer, dengan cara observasi dan wawancara. Observasi dimaksudkan adalah pengamatan dan pencatatan data yang ditemukan dan diperlukan di lokasi penelitian. Sedangkan wawancara adalah proses Tanya jawab secara langsung dengan pihak-pihak terkait dalam penelitian ini. Dalam wawancara tersebut terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan yang bersifat garis besarnya saja sebagai pedoman dalam melakukan wawancara, kemudian pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dikembangkan pada saat wawancara dilaksanakan. Adapun pihak-pihak yang menjadi responden dalam wawancara adalah:
1) H. Eddy Joenarso, SH.M.H. selaku Ketua Pengadilan Negeri Metro
2) Harlan Mardite, SH.M.H. selaku Jaksa Penuntut Pengadilan Metro
3) Tiga orang Hakim dari Pengadilan Kota Metro yaitu Yohannes Panji Prawoto, SH., Fahzal Hendri, SH.MH., dan Victor Togi Rumahrobo, SH. MH.

b. Pengolahan Data
Dari keseluruhan data yang sudah terkumpul kemudian diperiksa kembali dengan tujuan untuk mengetahui kelengkapan dan kejelasannnya. Apabila data-data yang diperlukan sudah lengkap dan jelas, kemudian dilakukan pengolahan data dengan cara menyusun data tersebut ke dalam bentuk kalimat secara sistematis, jelas dan rinci kemudian diklasifikasikan yang disesuaikan dengan pokok yang akan dibahas dalam rangka penyempurnaan data sehingga memudahkan analisa data.

D. Analisa Data
Dari keseluruhan data yang akan diolah, maka kegiatan terakhir yang akan dilakukan adalah menganalisa data, yaitu dengan cara deskriptif kualitatif artinya menguraikan data ke dalam bentuk kalimat secara sistematis berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan, sehingga memudahkan untuk menarik kesimpulan dalam menjawab pepermasalahan dalam penulisan ini.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kota Metro
Kota Metro adalah salah satu kota di provinsi Lampung, berjarak 45 km dari Kota Bandar Lampung (Ibukota Provinsi Lampung). Secara geografis terletak pada 560-580 LS dan 105170 -105190 BT. Kota yang berpenduduk sekitar 152.827 jiwa dengan tingkat kepadatan 2.223 jiwa/km2 ini secara administratif terbagi dalam 5 wilayah kecamatan, yaitu Metro Pusat, Metro Barat, Metro Timur, Metro Selatan dan Metro Utara serta 22 kelurahan dengan total luas wilayah 68,74 km2 atau 6.874 ha.
Batas wilayah Kota Metro adalah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara; berbatasan dengan Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah dan dan Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung Timur.
b. Sebelah Selatan; berbatasan dengan Kecamatan Metro Kibang Kabupaten Lampung Timur.
c. Sebelah Timur; berbatasan dengan Kecamatan Pekalongan dan Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur.
d. Sebelah Barat; berbatasan dengan Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah.
Berdasarkan karakteristik topografinya, Kota Metro merupakan wilayah yang relatif datar dengan kemiringan <6, tekstur tanah lempung dan liat berdebu, berstruktur granular serta jenis tanah podzolik merah kuning dan sedikit berpasir. Sedangkan secara geologis, wilayah Kota Metro di dominasi oleh batuan endapan gunung berapi jenis Qw. Wilayah Kota Metro yang berada di Selatan Garis Khatulistiwa pada umumnya beriklim humid tropis dengan kecepatan angin rata-rata 70 Km/hari. Ketinggian wilayah berkisar antara 25-60 m dari permukaan laut (dpl), suhu udara antara 260C 290C, kelembaban udara 80%-88%, dan rata-rata curah hujan pertahun 2.264 sampai dengan 2.868 mm.
(Sumber Data: Lampung Dalam Angka 2006-2007 (31-12-2005) BPS Lampung)

B. Tentang Pengadilan Negeri Metro
Pengadilan Negeri Metro adalah salah satu Pengadilan Negeri kelas I B Khusus yang berada di bawah Pengadilan Tinggi Lampung yang wilayahnya meliputi Wilayah Kota Metro.
Pengadilan Negeri Metro dibangun pada tanggal 2006 dengan 2 ruang sidang, 1 ruang Ketua Pengadilan, 1 ruang Hakim, 1 ruang Panitera Pengganti dan 2 ruang karyawan yang kesemuanya terdapat dalam 1 gedung. Saat ini Pengadilan Negeri Metro telah 5 ruang sidang, 1 ruang Ketua Pengadilan, 1 Ruang Wakil Ketua Pengadilan, ruang Panitera / Sekretaris, Ruang Wakil Panitera, Ruang Kepaniteraan Pidana, Ruang Kepaniteraan Perdata, Ruang Kepaniteraan Hukum, serta ruang kesekretariatan yang terdiri atas ruang Bagian Umum, ruang Bagian Keuangan, dan ruang Kepegawaian.
Pengadilan Negeri Metro merupakan salah satu Pengadilan yang ada di Provinsi Lampung. Pengadilan Negeri Metro terletak di JI. Sutan Syahrir , Mulyojati, Metro Selatan.

Fungsi dan Tugas Pokok Pengadilan
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar pasca Amandemen).
Kekuasaan kehakiman dilaksanakan ole Mahkamah Agung R.I., Badan-badan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung R.I., (Peradilan Umum, PTUN, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945).
Penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dengan tugas pokok, untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya).(Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2))
Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No.2 Tahun 1984). Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No.2 Tahun 1986).
Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum kepada instansi pemerntah di daerahnya apabila diminta (Pasal 52 UU No.2 Tahun 1986). Selain menjalankan tugas pokok, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan Undang-Undang.

Visi dan Misi
Visi
Mewujudkan supremasi hukum melalui Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, professional. Memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.
Misi
1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
2. Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain;
3. Memperbaiki akses pelayanan di bidang Peradilan kepada masyarakat;
4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan;
5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati;
6. Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.

Tabel Struktur Organisasi
Pengadilan Negeri Kelas IB Metro

PERSONALIA PN METRO

KETUA : H. Eddy Joenarso, SH.M.Hum.
WAKIL KETUA : Yohannes Panji Prawoto, SH.
HAKIM : Ida Ayu Puspa
Fahzal Hendri, SH.MH.
H. Eman Saeman, SH.
Hj. Sukmawati, SH. MH.
Victor Togi Rumahorbo, SH. MH.
PANITERA/SEKRETARIS : Laksmi Varia Darsini, SH.

PEJABAT KEPANITERAAN
WAKIL PANITERA : Nurlaily, SH.
PANITERA MUDA PERDATA : Drs. Sumargono
PANITERA MUDA PIDANA : Sudi Prayitno, SH.
PANITERA MUDA HUKUM : FX. Sutarno
PANITERA PENGGANTI : Drs. Agus Sukarno
Mukhsin, AN.
Winarto
Akhman S.
Nur Kasiyah
Makmun

JURUSITA : Subowo
Suryanto
Surul
Ngatiman
Sapri
Musjakir/ M. Yusuf

CALON HAKIM : Chandra Revoliza, SH.
Teti Hendrawati, A. Md, SH.
Mas Hardi Polo, SH.
Nugraha Medica Prakasa, SH.

PEJABAT KESEKRETARIATAN

WAKIL SEKRETARIS : Reno Sugiarto, SH.
KASUBAG KEPEGAWAIAN : Nengah Suarjaya
KASUBAG KEUANGAN : Katino
KASUBAG UMUM : Tugiman, SH.
PELAKSANA : Paimun
Ahyan Azis
Dewa Noviandri

C. Pemberantasan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dan Proses Pembuktiannya
Salah satu cita-cita bangsa Indonsia adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara benar (Good Governance) yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi dan mengedepankan asas kepastian hukum. Cita-cita tersebut terdapat dalam penjelasan UUD 1945 yang secara jelas memaparkan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Penjelasan UUD 1945 juga menyatakan bahwa bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kepada hukum (Rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kepada kekuasaan belaka (Machsstaat).
Cita-cita tersebut banyak menghadapi hambatan dalam praktek sehari-hari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Isu mengenai kebocoran anggaran pembangunan nasional, tidak efektifnya peran dan fungsi lembaga pengawasan, berkembangnya kolusi dan melembaganya korupsi dalam dunia birokrasi Indonesia merupakan fenomena nyata dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Korupsi di Imdonesia cenderung dilakukan oleh orang atau institusi yang memiliki kekuasaan politik, atau oleh konglomerat yang melakukan hubungan transaksional kolutif dengan pemegang kekuasaan. Dengan demikian, praktek kejahatan luar biasa berupa kejahatan kekuasaan ini berlangsung secara sistematis. Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2003 menunjukkan, Indonesia merupakan negara paling korup nomor enam dari 133 negara. Peringkat itu disebabkan oleh korupsi dari level atas ke bawah yang begitu menjamur di Indonesia.
Di era reformasi selama lima tahun terakhir, tidak ada upaya pemberantasan korupsi yang efektif. Ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat tujuan reformasi adalah pemberantasan KKN. Ini juga menunjukkan pemerintahan yang lebih demokratis tidak serius memberantas korupsi. Rezim Orba yang otoriter dan korup telah melakukan proses feodalisasi hukum secara sistematis. Hingga saat ini, banyak perangkat hukum yang tidak bermuara pada keadilan dan tidak melindungi rakyat. Berarti secara sadar, hukum dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat tinggi yang korup. Merajalelanya korupsi adalah karena faktor perangkat hukumnya lemah.
Selain itu lemahnya peran pengawasan terhadap kinerja pemerintah dianggap sebagai salah satu penyebab maraknya praktek korupsi di Indonesia. Sehubungan dengan itu, maka perlu dikembangkan suatu metode pengawasan yang dapat dibangun oleh masing-masing instansi pemerintah sebagai bentuk upaya konkrit untuk menutup lubang-lubang korupsi pada setiap instansi pemerintah. Terbentuknya lembaga pengawasan internal yang efektif dalam setiap instansi pemerintah di ikuti dengan membangun sistem pengawasan eksternal yang diselenggarakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang bekerja secara independen dan bebas dari intervensi pemerintah terhadap hasil temuan BPK. Partisipasi masyarakat luas juga sangat berperan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi, peran lembaga swadaya masyarakat yang netral seperti Indonesian Corruptions Wacth (ICW), Transparency International Indonesia (TII), media massa dan elektronika sebagai bentuk kontrol eksternal juga memiliki peran strategis dalam menanggulangi tindak pidana korupsi.
Perhatian pertama ditujukan terhadap nama dari undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi. Nama (tentang) mencerminkan apa yang menjadi materi muatan atau keinginan dari suatu produk hukum. Berbicara soal atur mengatur hal yang berhubungan dengan korupsi, maka sejak tahun 1957 perhatian pemerintah terhadap persoalan itu sudah ada yaitu melalui Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat (Peperpu) Nomor 013 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 mempergunakan nama (tentang) Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Produk hukum yang tidak hanya mengatur hukum beracara (Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan) tetapi juga tindakan yang merupakan korupsi, tetapi diberi nama (tentang) hanya mewakili hukum acaranya, maka dapat dikatakan dari sudut penamaan undang-undang saja sudah tidak pas.
Penggunaan kata “pemberantasan” dalam undang-undang tersebut harus diartikan sebagai bagian dari politik hukum dalam hal ini adalah politik hukum pidana yang dimaksudkan untuk dicapai oleh undang-undang itu yakni “memberantas korupsi”. Makna “memberantas” identik dengan menghilangkan, jadi politik hukum pidana yang harus dicapai oleh pemerintahan Soeharto waktu itu dengan adanya undang-undang tersebut adalah hilangnya korupsi di bumi Indonesia.
Namun dengan mempergunakan pemikiran yang paling sederhana sekalipun tidak mungkin yang dinamakan dengan kejahatan dengan segala macam bentuknya hilang. Target tertinggi penegakan hukum pidana hanya sampai dengan pencegahan kejahatan dan itupun hanya sampai taraf “kalau bisa”. Dengan demikian dari sisi nama (tentang) dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 senyatanya hanya sekedar niat besar yang dari pemikiran yang paling sederhanapun tidak akan pernah tercapai yaitu untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 pada tanggal 16 Agustus 1999 oleh pemerintahan BJ Habibie diganti dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-undang tersebut mungkin dimaksudkan dibuat untuk sekedar menunjukkan pada rakyat sikap tanggapnya pemerintahan “baru” ini terhadap persoalan korupsi. Karena menurut Transparency International, “Corruption Perception Index 1997-1996” Berlin, Germany 1997 digabung dengan “Corruption Perception Index 1998”, September 1998 membuat laporan tentang peringkat negara-negara dari sudut pandang praktek korupsi yang terjadi di negara tersebut.
Bukti akan hal itu menjadi lebih jelas lagi apabila memperhatikan isi Bab VII Ketentuan Penutup Pasal 44 yang menyatakan “Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 295 8) dinyatakan tidak berlaku”. Maka mulai saat itu berlaku ketentuan “tindakan korupsi yang terjadi sebelum 16 Agustus 1999 tidak lagi sebagai tindak pidana. Karena telah kehilangan dasar hukum (legalitas) untuk menyatakannya sebagai tindak pidana”.
Penggunaan istilah ”memberantas”, di depan istilah tindak pidana korupsi dan tidak cukup dengan hanya mempergunakan istilah ”Tindak Pidana Korupsi” sebagai nama undang-undang, benar ataukah tidak benar tidak menutup kemungkinan menimbulkan tindakan-tindakan penyalahgunaannya. Penyalahgunaan tersebut menjadi sah karena terbungkus dengan rapi oleh produk hukum - asas legalitas - dan dibentengi dengan semangat bersama rakyat ikut dalam barisan anti korupsi, seseorang yang disangka telah melakukan korupsi. Misalkan terkait dengan persoalan dasar hukum untuk menyatakan seseorang korupsi dengan cara yang “melawan hukum” (Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999).
Memperhatikan isi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, kekayaan negara yang sudah dipisahkan disebut kekayaan terpisah itu tunduk pada Undang-undang Perseroan Terbatas (ranah hukum perdata). Sehingga penempatan atau penyertaan keuangan negara di dalam suatu perum, persero, atau lainnya, sudah menjadi kekayaan terpisah. Sehingga ranahnya adalah perdata.
Namun apabila memperhatikan pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kekayaan yang terpisah maupun tidak terpisah itu tetap masuk dalam pengertian keuangan negara (ranah hukum pidana). Sehingga dari dua produk hukum yang paling menentukan untuk menyatakan seseorang korupsi ataukah tidak terkait dengan keuangan negara telah terjadi saling bertentangan dalam mendefinisikan keuangan negara.
Sebagai seorang pencari dan pengumpul bukti atau penuntut sepanjang dapat menguatkan pelaksanaan pekerjaannya pasti akan memilih dan mempergunakan PP 21 Tahun 2007 atau Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara untuk menyeret seseorang ke pengadilan. Namun apabila ia adalah sebagai bagian dari aparat penegak hukum, tidak akan melakukan hal tersebut, karena memang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang ada.
Menurut H. Eddy Joenarso, SH.M.Hum. selaku Ketua Pengadilan Negeri Metro bahwa akhir-akhir ini di media massa muncul pendapat sejumlah tokoh dan praktisi hukum terkait ketidaksetujuan terhadap keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran pengadilan ini pun, dalam entitas sistem peradilan di Indonesia, tidak dikehendaki. Mereka juga menafikan peran Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari pemberantasan korupsi. Sebenarnya keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan bukti keseriusan pemerintah dan DPR atas tekad pemberantasan korupsi, yang dilandasi fakta ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga penegakan hukum yang ada saat itu. Ini menjadi konsideran dalam Huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi, "lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Selain mengatur pembentukan KPK, Pasal 53 UU No 30/2002 tegas menyebutkan pembentukan Pengadilan Tipikor. Harus diakui, ide pembentukan Pengadilan Tipikor sebenarnya merupakan pemikiran besar meski tereliminasi karena penuntutannya dilakukan KPK. Sebenarnya, inilah penyebab mengapa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan memutuskan perkara korupsi yang berasal dari KPK. Bila mengikuti pemikiran awal, pengadilan ini seharusnya juga memeriksa dan memutus semua perkara korupsi yang dituntut penuntut umum pada KPK dan pada kejaksaan. Pasal 1 Angka 3 UU 30/2002 pun menegaskan, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan pada semua lembaga, dengan segala cara dan pada setiap proses.
Menurut Ida Ayu Puspa selaku hakim di pengadilan Negeri Metro menyatakan bahwa Bukan rahasia lagi, praktik mafia peradilan dan berbagai bentuk judiciary corruption yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia justru menjadikan aparat penegak hukum sebagai bagian dari masalah, bukan bagian dalam memecahkan masalah pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena itu, tidak perlu diperdebatkan pembentukan Pengadilan Tipikor merupakan bagian integral upaya pemberantasan korupsi, sehingga mempersoalkan eksistensinya sama dengan pengingkaran terhadap kehendak reformasi untuk memberantas korupsi secara progresif.
Pengaturan pembentukan Pengadilan Tipikor dalam sebuah undang-undang yang sama dengan pengaturan pembentukan KPK, yakni UU No 30/2002, tidak dapat diartikan pengadilan itu merupakan bagian KPK. Ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya hubungan organisasi dan administratif antara kedua lembaga itu. Pengadilan Tipikor ada di bawah lingkup pengadilan umum. Segala hal yang terkait dengan pembinaan sumber daya dan pengorganisasiannya menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung (MA). KPK merupakan lembaga negara yang independen dan tidak ada satu aspek pun dari manajemen sumber daya dari Pengadilan Tipikor yang menjadi tanggung jawab KPK. Hubungan yang ada hanya bersifat fungsional antara KPK sebagai penuntut umum dan pengadilan, seperti antara kejaksaan dan pengadilan.
Jika selama ini terdakwa dalam perkara korupsi yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor tak pernah ada yang dibebaskan, itu semata-mata karena penyidik dan penuntut umum pada KPK dengan kehati-hatian dan profesional melaksanakan tugasnya. Alat bukti yang disajikan dan argumentasi yang dibangun mampu meyakinkan hakim pada Pengadilan Tipikor. Hingga kini tidak satu pun terdakwa yang diajukan KPK dapat lolos dari tuntutan di Pengadilan Tipikor. Namun, itu bukan berarti tak terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum pada KPK dan hakim tipikor. Ini dibuktikan dengan banyaknya KPK mengajukan banding, bahkan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tipikor, meski tak pernah membebaskan terdakwa korupsi yang diajukan KPK.
Lemahnya integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum di Indonesia juga menjadi hambatan dalam mengikis habis tindak pidana korupsi. Maraknya praktek mafia peradilan makin mempersulit pemberatasan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, tindak pidana korupsi sulit diungkap karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisir. Oleh karena itu kejahatan ini sering disebut white collar crime atau kejahatan kerah putih. Lambannya penyelesaian kasus korupsi dan maraknya praktek kejahatan peradilan atau popular dengan sebutan mafia peradilan dalam mengungkap perkara korupsi menjadi penghambat bagi tegaknya supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Salah satu faktor penyebab banyaknya kasus yang belum terselesaikan dan minimnya keuangan negara yang dapat dikembalikan sebagai akibat dari perbuatan korupsi juga disebabkan oleh hilangnya sejumlah barang bukti oleh tersangka pelaku tindak pidana korupsi. Pola perilaku korupsi selalu mengalami perkembangan dan peningkatan, sementara tingkat kemampuan dan keahlian aparat hukum cenderung bersifat tetap dan statis karena minimnya penyegaran kemampuan dan keahlian pihak yang berwenang melalui pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi dan pelatihan-pelatihan yang memiliki relevansi dengan penegakan hukum khususnya pelatihan tentang penanganan masalah korupsi.
Seringkali seseorang yang dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi dapat lolos dari penegakan hukum. Argument tersebut diperkuat oleh pernyataan Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Metro yaitu Sudi Prayitno, SH meyatakan bahwa: Pola perilaku kejahatan korupsi termasuk golongan kejahatan yang pengembangannya mempunyai potensi tinggi untuk sulit dijangkau rumusan hukum kejahatan dan pertumbuhannya meningkatkan kemungkinan pola kejahatan dan pertumbuhannya meningkatkan pola kejahatan semakin nisbi, sehingga hukum pidana harus dikembangkan dan dibentuk secara khusus untuk menghadapi kejahatan korupsi. Pentingnya membangun kembali integritas dan profesionalitas aparat penegak hukum merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah yang tidak dapat ditawar jika ingin memberantas korupsi secara efektif dan bebas dari praktek-praktek mafia peradilan. Kesatuan peran dan misi dalam menegakkan supremasi hukum dari aparatur penegak hukum seperti hakim, kepolisian, kejaksaan dan rumah tahanan (Integrated Criminal Justice System) dituntut selalu menjunjung nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam menjalankan peran masing-masing. Penegakan hukum secara obyektif dan memperlakukan setiap orang secara sama kedudukannya di mata hukum (Equality Before The Law) merupakan sikap professional yang harus dijunjung tinggi oleh aparat penegak hukum. Melihat negara kita yang mengalami kerugian yang sangat besar akibat tindak pidana korupsi, dan meskipun pelaku-pelakunya telah diperkarakan dipersidangan tetap saja kerugian negara jauh dari kata tertutupi. Sedangkan dampak negatif dari korupsi itu sendiri sangat besar dimana disini negara menjadi korbannya sehingga pembangunan bangsa pun menjadi terhambat, dan hal itu pun akan dirasakan oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Metro, maka mendapatkan hasil yang relatif cukup memuaskan.

Hal ini terbukti dari kasus-kasus tindak pidana korupsi yang telah ditangani dalam tahun 2007 dan tahun 2008 sebagaimana tersebut dalam Tabel berikut

Tabel
Data Kasus Tindak Pidana Korupsi
Tahun 2007 s.d 2008
No Nama
Tersangka Jabatan Tuduhan Karupsi Ket
1 2 3 4 5

1
Dedi Fryadi Ramli
Mantan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Metro
Kasus korupsi anggaran rutin Satpol PP tahun 2005 senilai Rp. 152 juta
2 Saefullah Bendahara Satuan Polisi Pamong Praja Kota Metro Kasus korupsi anggaran rutin Satpol PP tahun 2005 senilai Rp. 152 juta
3 Bambang Japriono Kepala Desa (Lurah) 29 Banjarsari 3 proses tuntutan
4 Supriadi Kasi Penerangan Jalan Dinas Tata Kota dan Lingkungan Hidup Kota Metro Kasus penyelewengan dana P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air)
5 Agus Supriadi Kadis LLAJR Kota Metro Kasus korupsi proyek pengadaan dan pemeliharaan jalan dan jembatan
6 Firdaus Boerlian PNS (Pegawai Dinas PU Metro) Kasus korupsi proyek pengadaan dan pemeliharaan jalan dan jembatan
7 Ir Djafril, M.Sc. Kuasa Pengguna Anggaran Pada Dinas PU Metro Kasus korupsi proyek pengadaan dan pemeliharaan jalan dan jembatan
8 Ir. Agus Supriyanto, MM. PNS (Mantan Kepala Dinas PU Metro) Kasus korupsi proyek pengadaan dan pemeliharaan jalan dan jembatan

Menurut Victor Togi Rumahorbo, SH. MH. Selaku hakim di Pengadilan Negeri Metro menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah merambah keseluruh lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, korupsi tidak hanya makin meluas, tetapi dilakukan secara sistematis sehingga tidak saja semata-mata merugikan keuangan negara tetapi telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi maysrakat, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime. Bahkan jumlah kasus, kerugian negara maupun modus operandinya terus meningkat dari tahun ketahun. Sebagai extraordinary cryme, pemberantasan tindak pidana korupsi seakan-akan berpacu dengan munculnya beragam modus operandi korupsi yang semakin canggih, karena itu diperlukan sinergi dan persamaan persepsi dari seluruh komponen bangsa. Korupsi, mempunyai arti penting sebagai bagian dari strategi upaya menanggulangi tindak pidana korupsi baik dalam arti preventif maupun represif.

D. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi
UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime—Kantor PBB Untuk Masalah Obat-Obatan Terlarang dan Tindak Kejahatan) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada empat kendala atau “berita buruk” (bad news) bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia, termasuk di Indonesia dan daerah-daerah. Berita buruk yang pertama adalah kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Hal ini mengindikasikan rendahnya komitmen pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi dan bahwa selama ini pemberantasan korupsi belum menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah, yang mencerminkan masih lemahnya political will pemerintah bagi upaya pemberantasan korupsi.
Berita buruk yang kedua adalah kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi program pemberantasan korupsi. Minimnya bantuan luar negeri ini merupakan cerminan rendahnya tingkat kepercayaan negara-negara donor terhadap komitmen dan keseriusan pemerintah di dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Berita buruk yang ketiga adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Dan, berita buruk yang keempat adalah rendahnya insentif dan gaji para pejabat publik. Insentif dan gaji yang rendah ini berpotensi mengancam profesionalisme, kapabilitas dan independensi hakim maupun aparat-aparat penegak hukum lainnya, termasuk dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selain dari keempat “berita buruk” seperti telah diuraikan di atas, keadaan di Indonesia menjadi bertambah rumit karena terjadinya perdebatan tiada henti tentang posisi dan kedudukan hukum dari kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Beberapa pihak berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara adalah dapat disentuh oleh hukum pidana, sehingga pejabat negara yang korup adalah dapat digugat secara hukum, baik hukum pidana maupun perdata. Sedangkan, beberapa pihak yang lain berpendirian bahwa kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara adalah tidak tersentuh oleh hukum, sehingga pejabat-pejabat negara yang korup tersebut adalah tidak dapat digugat secara hukum, baik pidana maupun perdata. Sedangkan, beberapa pihak yang lain lagi berpendapat bahwa hukum administrasi negara merupakan satu-satunya perangkat hukum yang dapat menyentuh kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh para pejabat negara. Sayangnya, perdebatan tentang permasalahan tersebut cenderung berlarut-larut tanpa dapat memberikan solusi yang efektif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Diluar masalah-masalah di atas, ada pula beberapa hal lain yang turut menghambat upaya pemberantasan korupsi di daerah. Hambatan yang pertama berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang menyangkut upaya pemberantasan korupsi mempunyai beberapa kelemahan yang terletak pada substansi peraturan perundang-undangan, baik dari aspek isi maupun aspek teknik pelaksanaannya, sehingga memungkinkan terjadinya ketimpangan dalam pemberantasan korupsi. Diantara kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (i) tidak jelasnya pembagian kewenangan antara jaksa, polisi dan KPK dan tidak adanya prinsip pembuktian terbalik dalam kasus korupsi; (ii) lemahnya dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, sehingga seseorang yang dianggap mengetahui bahwa ada penyelewengan di bidang keuangan tidak bersedia untuk dijadikan saksi/memberikan kesaksian. Hambatan yang kedua berkaitan dengan kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan legislatif terhadap berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Mekanisme pemeriksaan terhadap pejabat–pejabat eksekutif dan legislatif juga terkesan sangat birokratis, terutama apabila menyangkut izin pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Hambatan yang ketiga berkaitan dengan integritas moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang keberhasilan mereka dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Hambatan yang keempat berkaitan dengan masalah kultur/budaya, dimana sebagian masyarakat telah memandang korupsi sebagai sesuatu yang lazim dilakukan secara turun-temurun, disamping masih kuatnya budaya enggan untuk menerapkan budaya malu.

E. Strategi Penanggulangan Korupsi
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap oleh aparat-aparat penegak hukum di daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Namun, pengungkapan kasus korupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: (i) besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan (ii) relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi; dan
4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.

Selain keempat strategi yang dikemukakan oleh Langseth di atas, Dye dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat “Pillars of Integrity” yang melibatkan delapan pillars of integrity sebagai berikut : (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies), (5) media, (6) sektor swasta, (7) masyarakat sipil, dan (8) lembaga-lembaga penegakan hukum.
Sementara itu, dalam perspektif yang agak berbeda, Indriyanto Senoadji berpendapat bahwa untuk meminimalisasi korupsi yang telah menjadi satu permasalahan sistemik dan terstruktural yang sangat utuh terakar, kuat serta permanen sifatnya diperlukan usaha yang maksimal bagi penegakan hukum, yaitu melalui pendekatan sistem itu sendiri (systemic approach).
Pendekatan sistemik sebagaimana ditawarkan oleh Indriyanto Senoadji memiliki tiga lapis makna, yaitu: (1) maksimalisasi peran sistem ”Peradilan Pidana” secara luas, (2) koordinasi dan kepaduan antara aparat-aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Pengadilan, bahkan termasuk advokat), dan (3) pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya hukum / legal culture.
Pada lapis makna yang pertama (maksimalisasi peran sistem peradilan pidana secara luas), pemberantasan korupsi tidak semata-mata dilakukan dengan memaksimalkan peran lembaga pengadilan sebagai suatu sub sistem. Ini terkait erat dengan lapis makna yang kedua (koordinasi dan kepaduan antar aparat penegak hukum yang meliputi Polisi, Jaksa dan Pengadilan serta advokat). Kait-mengkait antara sub-sub sistem tersebut bersifat saling pengaruh-mempengaruhi layaknya roda lokomotif yang berirama dan sistematis. Konkritnya, dibutuhkan kesamaan visi, koordinasi dan kerjasama yang baik di antara sub-sub sistem tesebut untuk dapat menghasilkan suatu upaya pemberantasan korupsi yang berhasil guna dan berdaya guna.
Selanjutnya, perlu pula diperhatikan lapis ketiga dari makna pendekatan sistemik, yaitu pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya hukum / legal culture. Pembenahan struktur hukum meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan, sehingga dapat meminimalisasi KKN. Dalam hal ini, birokrasi dan struktur peradilan serta pengawasan fungsi peradilan merupakan bagian-bagian yang selayaknya mendapatkan pembenahan. Selanjutnya, pembenahan substansi hukum yang dimaksudkan oleh Indriyanto Senoadji adalah menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif (legal reform), pola serta kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dalam kerangka pembenahan substansi hukum ini, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 berikut perubahan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih memerlukan beberapa revisi sesuai dengan sifat dinamis dari tindak pidana korupsi tersebut. Revisi terhadap undang-undang tersebut antara lain berupa implementasi terhadap akseptabilitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau Reversal Burden of Proof (Omkering van Bewijslast) yang dinilai penting dan mendesak mengingat korupsi telah menjadi suatu kejahatan serius yang harus ditindaklanjuti dengan upaya sarana pemberantasan yang bersifat extra ordinary pula, antara lain melalui Sistem Pembalikan Beban Pembuktian.
Terakhir, pembenahan budaya hukum merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan-ketentuan sebagai civic minded (berpihak pada kepentingan masyarakat) sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar akan pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum. Hal ini terkait erat dengan persoalan etika dan moral masyarakat serta pejabat penegak hukum dalam menyikapi KKN. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang sangat penting dalam pembangunan hukum Indonesia, khususnya dalam kerangka pemberantasan korupsi. Terhadap hal ini, kiranya pemerintah dapat mengkampanyekan pemberantasan korupsi dengan cara memasukkan ajaran-ajaran tentang moral dan etika ke dalam sistem pendidikan nasional serta mendorong dan memobilisai murid-murid di sekolah-sekolah untuk menciptakan suatu iklim sosial sedemikian rupa dimana di dalamnya korupsi menjadi suatu hal buruk yang tidak dapat diterima. Dalam hal ini sekolah dijadikan sebagai ujung tombak yang diharapkan dapat menjangkau sejumlah besar anak. Melalui anak-anak ini lah kampanye anti korupsi diharapkan menyentuh para orang tua mereka dan akhirnya menyentuh masyarakat secara keseluruhan. Pemanfaatan media untuk memobilisasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi juga dapat menjadi bagian dari usaha ini.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian yang telah penulis jelaskan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat berjalan dengan efeksif dan mencapai hasil yang optimal, apabila tidak disertai dengan pemahaman didalam mempersepsikan ketentuan-ketentuan undang-undang yang berlaku. Disamping itu juga diperlukan sikap dan kemampuan yang lebih profesionalitas aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
2. Faktor penghambat pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah :
• Lemahnya integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum.
• Maraknya praktek mafia peradilan
• Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara terselubung dan terorganisir sehingga mempersulit aparat penegak hukum dalam penyidikan maupun pembuktiannya di pengadilan.
• Kurang Lengkapnya alat bukti yang digunakan dalam proses pembuktian di pengadilan.
• Pola perilaku korupsi selalu mengalami perkembangan dan peningkatan, sementara tingkat kemampuan dan keahlian aparat hukum cenderung bersifat tetap dan statis karena minimnya penyegaran kemampuan dan keahlian pihak yang berwenang melalui pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi dan pelatihan-pelatihan yang memiliki relevansi dengan penegakan hukum khususnya pelatihan tentang penanganan masalah korupsi.

B. Saran
1. Perlunya pembenahan sistem dan politik hukum diarahkan kepada kebijakan untuk mendorong penyelenggaraan penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi yang ditujukan untuk melanjutkan upaya sistematis memberantas korupsi secara tegas dan konsisten melalui penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap para pelaku korupsi, terciptanya budaya dan kesadaran hukum, serta terjaminnya konsistensi peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan di atasnya, mengoperasionalkan rencana tindak secara bertahap dan konsisten terhadap reformasi birokrasi melalui upaya-upaya :
a. Penataan kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya percepatan pemberantasan korupsi, mengandung perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, memiliki daya laku yang efektif dan efisien serta sesuai dengan aspirasi masyarakat.
b. Pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia aparatur pelayanan dan penegak hukum; terselenggaranya sistem peradilan, cepat, murah, dan transparan serta memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran, terutama bagi masyarakat miskin.
c. Meningkatkan kesadaran hukum dan hak asasi manusia melalui pendidikan dan penyuluhan bagi para penyelenggara negara dan masyarakat agar mampu berperilaku sesuai dengan kaidah hukum.
2. Perlu Dilakukan Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Nasional guna mencegah kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan. Pembaharuan sistem hukum disini dimaksudkan sebagai penegakan norma-norma yang tidak semata-mata mengandalkan kepada kebenaran formil dalam pembuktiannya, tetapi juga harus memperhatikan perasaan keadilan dalam masyarakat secara materiil.
3. Tugas pokok pengadilan adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara Pidana dan Perdata yang diajukan sesuai dengan kompetensi Pengadilan Negeri Metro sudah selayaknya dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan serta memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan.
4. Dalam melaksanakan tugas harian Pengadilan Negeri Metro harus memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Hamzah, Andi, S.H. Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, cetakan pertama, Agustus 1986 , Jakarta – hal.242-243

Hadi, Sutrisno , Metodelogi Reseach, Jilid 1 dan 3 Yogyakarta. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, 1987.

Kilas balik 6 tahun Komisi Hukum Nasional; Menguak misi KHN dan kinerjanya / Komisi Hukum Nasional . -- Jakarta : KHN, 2006.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal hukum : suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1985

Poerwo Darminto,W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia Balai Pustaka. 1996

Purnomo, Bambang, Pertumbuhan hukum penyimpangan di luar kodifikasi hukum pidana . Bina Aksara, 1984

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986

Universitas Muhammadiyah Metro. 2003. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Metro Universitas Muhammadiyah.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang No.3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman , ps. 27 ayat (1).

Artikel :

Ari Wahyudi, S.H, dan Ariel Nurul Wicaksono,Tindak Pidana Korupsi Antara Upaya Pemberantasan Dan Penegakan Hukum, MaPPI-FHUI

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 124-125. Kompas, 24 Januari 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar